Senin, 23 Mei 2011

Islam, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Deklarasi Kairo


Agama Islam, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan Muslim kontemporer berada dalam kegelisahan, ketegangan dan konflik antara satu sama lain. Istilah Islam memunculkan banyak gambaran - beberapa nyata, beberapa hanya imajinasi saja. Islam tampaknya digambarkan seolah buta secara rohani, dan menyebarkan kebencian dan kekerasan. Hal tersebut tumbuh subur dalam imajinasi orang-orang yang menjelekkan Islam. Sedangkan pemahaman yang ideal ada pada orang-orang yang tulus meyakini bahwa Islam semata-mata adalah kedamaian dan keihklasan.  Tetapi ketika Islam menjadi sebuah frase yang disalahterapkan dan disalahgunakan oleh beberapa tindakan dan ideologi, pada kenyataannya, bukanlah Islam.
Jadi dimana Islam yang sejati dapat dicari? Dimana Islam moderat bisa ditemukan?
Jihad



Ada pertanyaan tentang jihad versus militansi. Kami, umat Islam moderat, percaya bahwa di dalam Islam, perang hanya sah untuk membela diri. Muslim diijinkan untuk mengangkat senjata hanya jika mereka menjadi korban agresi atau penindasan. Tapi Quran menetapkan prasyarat di mana perdamaian harus diwujudkan dan amnesti dapat diberikan.  Pada sisi yang menampakkan sikap keras dalam pembelaan diri di dalam Al Quran, selalu ada desakan untuk memaafkan dan melupakan dan ajakan untuk perdamaian dan rekonsiliasi.

Jihad memiliki beberapa konotasi. Salah satunya cenderung setuju dengan pandangan Bernard Lewis, Profesor Emeritus di Princeton University, bahwa mayoritas dari para ahli hukum Islam paling sering menafsirkan jihad sebagai perjuangan bersenjata untuk pertahanan atau memajukan kekuasaan politik Islam atau hegemoni [9]. Anggapan di balik interpretasi berbahaya tersebut adalah bahwa panggilan untuk jihad militan akan terus berlanjut, hanya diselingi oleh gencatan senjata sementara, sampai seluruh dunia mau menerima Islam atau tunduk kepada aturan Islam.

Ketika kita hadapkan dengan sejarah - dan memang harus kita hadapkan - tidak mungkin untuk menyangkal bahwa aliran tertentu dari pemikiran Islam abad pertengahan dan Islam yang  kontemporer ada yang bertentangan dengan nilai-nilai murni yang diajarkan oleh Quran. Ketika jihad digunakan sebagai alat untuk membenarkan militansi yang kejam, seorang Muslim moderat berpendapat bahwa panggilan jihad sesungguhnya adalah untuk melawan godaan setan dalam diri kita sendiri (nafs-ammarah) [1].

Universal Declaration of Human Rights (UDHR)


Kami, umat Islam moderat, percaya bahwa Quran menyebutkan tentang deklarasi universal yang pertama dan utama mengenai hak asasi manusia di dalam sejarah umat manusia.


Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjadi tonggak menuju kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada bulan Desember 1948. Deklarasi ini berisi konsensus yang luas mengenai peradaban kontemporer tentang masalah Hak Asasi Manusia.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mencakup tentang semua hak penting politik tradisional dan sipil, seperti persamaan di hadapan hukum, hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil, hak untuk memiliki harta, kebebasan berpendapat dan berekspresi; dan kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama. 

UDHR Pasal 18 menyatakan:

"Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk berganti  agama atau kepercayaan, dan kebebasan, baik secara sendiri atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau secara pribadi, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam bentuk pengajaran, praktek , ibadah dan ketaatan. [3]

Nilai-nilai dan standar yang luas yang diatur oleh Islam secara jelas mendorong semangat dan tujuan dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, seperti yang dijelaskan dalam buku, Islam dan Hak Asasi Manusia, oleh Hadhrat Zafrullah Khan, Ketua Mahkamah Agung Internasional [4].

Islam menjunjung tinggi kebebasan hati nurani dan pemikiran dan hal itu mengajarkan untuk menghormati dan bertoleransi terhadap semua agama, karena Al Quran yang agung menyatakan bahwa "Tidak boleh tidak ada paksaan dalam beragama." [2:257] Artinya, harus benar-benar tidak ada paksaan atau kendala dalam hal kepercayaan ataupun ketidakpercayaan.

Meskipun demikian, pandangan Muslim pada umumnya adalah bahwa orang-orang yang murtad, yang sebelumnya memeluk agama Islam dan kemudian meninggalkannya, dianggap telah melakukan suatu kejahatan yang tidak termaafkan. Dan menurut mayoritas ahli hukum Islam beranggapan, orang yang murtad harus dihukum mati. Hadhrat Mirza Tahir Ahmad, dalam bukunya Pembunuhan atas Nama Allah, dengan tegas berpendapat kemurtadan tidak dianggap sebagai kejahatan dalam Al Quran, dan bahwa tidak layak untuk mendapat hukuman. [2]

Pada tahun 1990, lebih dari lima puluh negara-negara Muslim memutuskan untuk menawarkan deklarasi paralel dari konsep Islam tentang hak asasi manusia - sebuah koreksi terhadap deklarasi hak asasi manusia. Dengan tujuan ini, negara-negara muslim, di bawah naungan Organisasi Konferensi Islam, menyampaikan Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam. Dan dengan demikian, dunia Muslim dapat mencapai sebuah konsensus politik tentang isu-isu tertentu dari hal-hal doktrinal. 

Dalam Deklarasi Kairo, hak-hak perempuan dan kebebasan beragama sangat diutamakan walaupun dalam berbagai keterbatasan. Meskipun Deklarasi Kairo melarang pemaksaan dalam Islam, namun tidak memberikan kebebasan penuh dalam beragama. The CDHRI Pasal 10 menyatakan:

Islam adalah agama yang sejati dan tidak pernah berubah. Adalah terlarang untuk melakukan setiap bentuk tekanan pada manusia atau untuk mengeksploitasi kemiskinan atau kebodohannya untuk memaksa dia untuk berganti agama dengan agama lain atau menjadi ateis. [6]

Pernyataan tersebut adalah satu-satunya pernyataan dari CDHRI tentang kebebasan beragama. Konsesi ini diberikan oleh CDHRI dan bertentangan dengan hak yang diberikan oleh Pasal 18 UDHR. Deklarasi Kairo menolak untuk memberi kita hak asasi manusia yang paling mendasar  - kebebasan hati nurani dan hak untuk mengubah agama atau kepercayaan. Deklarasi Kairo adalah menafikkan hak seorang muslim untuk meninggalkan Islam dan memeluk agama lain atau ateisme. CDHRI secara efektif melarang kemurtadan. Dan konsisten dengan pernyataan mereka, sangat sedikit negara-negara Muslim mengizinkan negeri mereka terbuka untuk kegiatan misionaris oleh non-Muslim. Tapi ini seharusnya tidak mengejutkan siapapun, karena kepercayaan bahwa orang murtad harus dihukum mati dan kebebasan nurani tidak dapat hidup berdampingan bersama-sama.

Menurut Dr Ann Mayer dari Wharton School of Business, Deklarasi Kairo yang mempertimbangkan hak-hak beragama, sipil dan politik dalam Deklarasi Universal adalah berlebihan dan menerapkan syariah Islam untuk membatasi dan menguranginya. Tidak perlu dikatakan lagi, adalah bahwa ahli hukum Islam lah yang mendefinisikan syariah Islam. [7]
Pada tahun 2002, PBB menerbitkan sebuah laporan "Arab, Laporan Perkembangan Sumber Daya Manusia”, yang mencatat bahwa kawasan Arab memiliki kebebasan yang paling sedikit dibandingkan dengan enam wilayah kunci lain di dunia, di negara yang mencakup kebebasan sipil, hak-hak politik, dan independensi media, dan agama kebebasan ". [8]

Dalam budaya intoleransi ini, korupsi dan despotisme menggerogoti pada tatanan sosial dunia Islam, dan menjelaskan kegagalan dalam menciptakan negara yang benar-benar Islami. Seorang Muslim moderat adalah orang yang terbuka dan tegas menolak budaya ini.
Arnold Toynbee, salah satu sejarawan yang paling terkemuka di zaman kita, ia menyebutkan dua kategori umum umat Islam kontemporer. Meminjam dari sejarah Yahudi sekitar masa Nabi Yesus, ia memberi tipe Muslim ini label sebagai berikut:

Menurut dia, tipe Herodes adalah yang modern, acuh tak acuh, nyaris tidak beragama, Islam yang meniru Barat, sedangkan orang Zelot adalah Muslim ortodoks puritan, yang mengacu ke masa lalu dalam hal yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak familiar.

Sumber: http://www.alislam.org/egazette/updates/islam-universal-human-rights-and-cairo-declaration/

0 komentar:

Posting Komentar